Arsip

Archive for the ‘Lain – lain’ Category

Penyakit-Penyakit Hati

Hati

 

Oleh : Al-Imam Ibnu Abil ‘Izzi

 

Pengantar:
Untuk sedikit menambah pengetahuan kita tentang penyakit hati, berikut ini akan saya kutipkan risalah dari buku “Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah…” karya Syeikh Abdul Akhir Hammad Alghunaimi. Akan tetapi, barangkali risalah itu sendiri lebih tepat disebut karya Al-Imam Ibnu Abil ‘Izzi, karena beliaulah yang menulisnya sebagai syarh (penjelasan) dari kitab Aqidah yang disusun oleh Imam Ath-Thahawi yang dikenal dengan kitab “Aqidah Thahawiyah”. Sedang Syeikh Abdul Akhir Hammad Alghunami adalah yang melakukan tahdzib (penataan ulang). Semoga bermanfaat.

Hati itu dapat hidup dan dapat mati, sehat dan sakit. Dalam hal ini, ia lebih penting dari pada tubuh.
Allah berfirman, artinya:
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya.” (Al-An’am : 122)

Artinya, ia mati karena kekufuran, lalu Kami hidupkan kembali dengan keimanan. Hati yang hidup dan sehat, apabila ditawari kebatilan dan hal-hal yang buruk, dengan tabi’at dasarnya ia pasti menghindar, membenci dan tidak akan menolehnya. Lain halnya dengan hati yang mati. Ia tak dapat membedakan yang baik dan yang buruk.

Dua Bentuk Penyakit Hati:

Penyakit hati itu ada dua macam: Penyakit syahwat dan penyakit syubhat. Keduanya tersebut dalam Al-Qur’an.
Allah berfirman, artinya:
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara (melembut-lembutkan bicara) sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya. “ (Al-Ahzab:32)
Ini yang disebut penyakit syahwat.

Allah juga berfirman, artinya:
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya…” (Al-Baqarah : 10)
Allah juga berfirman, artinya:
“Dan adapun orang yang didalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada).” (At-Taubah : 125)

Penyakit di sini adalah penyakit syubhat. Penyakit ini lebih parah daripada penyakit syahwat. Karena penyakit syahwat masih bisa diharapkan sembuh, bila syahwatnya sudah terlampiaskan.Sedangkan penyakit syubhat, tidak akan dapat sembuh, kalau Allah tidak menanggulanginya dengan limpahan rahmat-Nya. Baca selengkapnya…

Kategori:Lain - lain

Korupsi

corruptionwallpaper

Dalam Islam, permasalahan korupsi termasuk bagian yang dibahas panjang lebar. Dalam istilah fikih, korupsi diistilahkan dengan al-ghulul. Imam Nawawi berkata, al-ghulul asalnya bermakna pengkhianatan terhadap harta umat. Namun, istilah ghulul lebih melekat pada pengkhianatan harta rampasan perang. Tidak salah, sebab harta rampasan adalah harta umat. Namun tidak berarti ghulul hanya terbatas pada penggelapan harta rampasan.

Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, dosen di Universitas Islam Madinah menyebutkan dalam makalahnya Attahdzir Minal Ghulul, di antara bentuk ghulul yaitu seorang pegawai publik mengambil hadiah (gratifikasi) disebabkan posisi dan pekerjaannya.

Dalam sebuah Hadits, “Nabi pernah mengangkat seorang pekerja (pegawai), ketika pekerja ini telah menuntaskan pekerjaannya ia menemui Rasulullah lalu berkata kepada beliau ‘ini bagian engkau (Rasulullah) sedangkan ini dihadiahkan untukku.’ Nabi berkata, Mengapa engkau tidak berdiam diri di rumah ibumu atau bapakmu lalu kamu memperhatikan apakah kamu dapat hadiah atau tidak.”

Kemudian pada kesempatan lain Rasulullah berdiri setelah shalat dan bersabda terkait sikap orang tadi,

“Demi jiwaku yang ada ditangan-Nya, sesungguhnya tidaklah seorang melakuakn ghulul kecuali ia akan memikul di atas lehernya harta yang telah dikorupsi (di akhirat).”(Riwayat Bukhari). Nabi juga bersabda, “Siapa di antara kalian yang diamanahi sebagai pejabat publik kemudian ia menyembunyikan jarum atau yang lebih dari itu untuk dimiliki maka ini adalah ghulul yang di hari Kiamat ia akan datang bersama barang yang digelapkannya.” (Riwayat Muslim)

Sumber : http://majalah.hidayatullah.com/?p=3624

Kategori:Lain - lain

Stop Ghibah

ghibahDari shahabat Ibnu Umar radhiyallahu’anhu, bahwa beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانَهِ وَلَمْ يَفْضِ الإِيْمَانُ إِلَى قَلْبِهِ لاَ تُؤْذُوا المُسْلِمِيْنَ وَلاَ تُعَيِّرُوا وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَتَّبِعْ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ تَتَّبَعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبَعِ اللهُ يَفْضَحْهُ لَهُ وَلَو في جَوْفِ رَحْلِهِ

“Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya yang belum sampai ke dalam hatinya, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah kalian menjelek-jelekkannya, janganlah kalian mencari-cari aibnya. Barang siapa yang mencari-cari aib saudaranya sesama muslim niscaya Allah akan mencari aibnya. Barang siapa yang Allah mencari aibnya niscaya Allah akan menyingkapnya walaupun di dalam rumahnya.” (H.R. At Tirmidzi dan lainnya)

Dari shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

مَنْ رَدَّ عِرْضَ أَخِيْهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa yang mencegah terbukanya aib saudaranya niscaya Allah akan mencegah wajahnya dari api neraka pada hari kiamat nanti.” (H.R. At Tirmidzi no. 1931 dan lainnya)

Kategori:Lain - lain

Nuzulul Qur’an Sebagai Peringatan atau Pelajaran

islamic-wallpaper_al-quran-wallpaper-1

Pada bulan Ramadhan banyak umat Islam yang merayakan Nuzulul Qur’an . Untuk itu kita perlu lihat dan bincangkan fungsi utama diturunkan Al-Qur’an. Moga kita tidak terlalai dengan hanya perayaan tetapi al -Quran terus dilupakan.

 

Syekh Shafiyur Rahman Al- Mubarakfuriy (penulis Sirah Nabawiyah ) menyatakan bahwa para ahli sejarah banyak berbeza pendapat tentang bila waktu pertama kali diturunkan Al-Qur’ an, pada bulan apa dan tanggal berapa , paling tidak ada tiga pendapat :

 

Pertama: Pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Qur’an itu ada pada bulan Rabiul Awwal,
Kedua: Pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Qur’an itu pada bulan Rajab,
Ketiga: Pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Qur’an itu pada bulan Ramadhan.

Yang berpendapat pada bulan Rabiul Awwal pecah menjadi tiga , ada yang mengatakan awal Rabiul Awwal, ada yang mengatakan tanggal 8 Rabiul Awwal dan ada pula yang mengatakan tanggal 18 Rabiul Awwal ( yang terakhir ini diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallaahu anhu ).

Baca selengkapnya…

Kategori:Lain - lain

Belajar Bahasa Arab

Assalamu’ alaikum wa rahmatullah wa barakatuh

Kepada ikhwan wa akhwat yang masih memiliki smangat untuk belajar bahasa arab,
hafal al-quran dan ilmu-ilmu islam penting lainnya

Maka dengan ini YAYASAN ANNABA yang beralamat di Jalan raya Sukabumi km5
Kp . cibinong rt/rw : 04 / 01 belakang PB JOGLO

Membuka program “Belajar Bahasa Arab dan Ilmu Islami”

Segera daftarkan diri anda !!!!

Dengan cara ketik NAMA_DAFTAR kirim k no 087720107395 dengan infak sebesar Rp .30. 000 / 3 bulan.

Acara diselenggarakan setiap hari ahad mulai jam 14:00 s/d
selesai .

Jangan lewatkan bulan ramadhan tahun ini dgn biasa-biasa saja, segera daftarkan diri anda!!!!

Kategori:Lain - lain

Akhlak Orang Yang Berjiwa Besar (2)

Wahai saudara sekalian…Seandainya anda keluar kemudian bertemu seseorang yang tak pernah menjaga hak-hak anda dan tak pernah menghormati anda. Kemudian dia mengucapkan perkataan kotor, mencaci, dan memperdengarkan kepada anda sesuatu yang sangat anda benci. Tindakan apa yang akan anda lakukan?! Anda membalasnya dengan hal yang serupa?! Membalas dendam atau berubah menjadi musuh baginya?

Wahai saudara sekalian…Para pemilik jiwa yang besar, pada situasi-situasi seperti ini akan selalu mengingat firman Allah Ta’ala, “Tolaklah kejahatan itu dengan sesuatu yang paling baik”. (QS. Fushshilat:34).“Idfa’billati hiya ahsan” inilah yang menjadi syi’ar atau semboyan mereka.

Mari kita tengok kisah Ali Zainul Abidin, Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Termasuk pembesar Tabiin. Suatu ketika beliau berada dalam majelis bersama para sahabatnya, dari kalangan ulama, para pemuka, pembesar dan seluruh lapisan masyarakat. Majelisnya padat dengan manusia. Sebab beliau seorang alim, bapak kaum fakir miskin, dan senantiasa menghilangkan kepedihan dan kesengsaraan orang.

Saat beliau sedang duduk di majelis seperti biasanya, sementara antara beliau dan putra pamannya, Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib, sedang terjadi suatu hal [sengketa] yang biasa terjadi di antara manusia, tiba-tiba Hasan bin Hasan tak mampu menahan diri. Ia segera keluar mencari Ali Zainul Abidin berada dan mendapatinya sedang duduk bersama para sahabatnya di Masjid. Hasan bin Hasan mendekati Ali Zainul Abidin, lalu tiada cercaan dan ucapan buruk sedikit pun kecuali dilemparkan kepada Ali Zainul Abidin yang sedang duduk bersama para sahabatnya itu.

Ali Zainul Abidin diam seribu bahasa. Beliau tidak membalas sepatah kata pun. Ketika Hasan bin Hasan selesai dan puas melampiaskan kemarahannya, ia-pun lantas pergi. Ali Zainul Abidin terus melanjutkan majelisnya. Setelah selesai dari kajiannya, beliau menuju rumahnya. Dan pada malam harinya, Ali Zainul Abidin bergegas menemui Hasan bin Hasan di rumahnya.

Pada kondisi seperti ini, mungkin yang kita perkirakan, Ali Zainul Abidin menyembunyikan pistol di balik bajunya untuk menghajar Hasan tadi. Tetapi Ali Zainul Abidin sama sekali tidak melakukan hal itu. Beliau mendatangi rumah Hasan, mengetuk pintu, dan ketika Hasan bin Hasan keluar, Ali berkata: “Wahai saudaraku! Jika yang tadi kamu katakan tadi adalah benar, maka mudah-mudahan Allah mengampuni saya. Tapi jika kamu tadi berdusta, mudah-mudahan Allah mengampunimu. Assalamu’alaikum.”

Lalu Ali Zainul Abidin berbalik meninggalkan Hasan. Ucapan Ali ini seketika meluluhkan permusuhan yang menghujam dalam dada Hasan bin Hasan. Ia tak mampu menahan dirinya. Sehingga perasaan benci, marah, dendam, dan permusuhan ini beralih menjadi perasaan yang sebaliknya. Ia segera berlari mengikuti Ali Zainul Abidin. Menggenggamnya dari belakang sambil menangis. Lalu berkata, “Engkau tak ada dosa, engkau tak pernah melakukan seperti apa yang saya katakan tadi”.

Maka Ali Zainul Abidin rahimahullah berkata, “Dan saya sama sekali tak marah karena ucapanmu. Saya telah memaafkanmu sejak peristiwa itu terjadi”.[9]

Wahai saudara sekalian…Pada malam itu, masalah tersebut selesai. Ali tidak pergi mengadukan perbuatan Hasan ini kepada orang lain. Beliau tidak mencari-cari kesempatan dari peristiwa yang baru saja ditimpakan padanya untuk membalas dendam dan lain sebagainya.

Pertanyaannya, apakah kita pernah melakukan hal ini?! Ketika anda berada dalam masjid, pesta, perkumpulan, rapat, dan lain sebagainya, lalu datang seseorang dan menghabisi anda dengan perkataan yang buruk. Berbagai ucapan jelek dilontarkan kepada anda…bagaimanakah sikap anda terhadap orang tersebut?

Jika anda termasuk orang-orang yang berjiwa besar maka maafkanlah ia dan anggap kesalahan itu tidak pernah terjadi. Karena itulah, sebagian ulama berkata kepada orang yang mencaci-makinya dengan sangat keras, “Wahai kawan! Jangan terlalu keras memaki kami, sisakanlah satu tempat untuk berdamai (di antara kita), sisakanlah satu tempat untuk berdamai (di antara kita). Karena kami tidak membalasi orang yang bermaksiat kepada Allah atas kita, dengan lebih banyak dari ketaatan kami kepadaNya”.[10]

Seandainya ada seseorang yang berbuat kurang ajar, memukul anda, melukai, berusaha membunuh anda, meracuni anda, atau melakukan perbuatan buruk lainnya, apa tindakan anda terhadapnya?!

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, Khulafa’ Rasyidin yang kelima. Ketika terserang penyakit yang mengantarkan pada kematiannya, ia bertanya pada Mujahid: ”Apa gerangan yang dikatakan orang-orang terhadap penyakit yang menimpaku ini?”. Mujahid menjawab: ”Mereka mengatakan, anda terkena sihir”. Umar menimpali: “Sekali-kali, tidak”. Lalu Umar bin Abdul Aziz memanggil seorang budak laki-laki dan bertanya, ”Mengapa engkau meracuni saya?”. Beliau ingin tahu alasan kenapa sang budak meracuninya.

Ragu sang budak menjawab: ”Saya melakukannya karena uang seribu dinar dan karena saya ingin merdeka”.

Umar lalu menyuruh Mujahid mengambil uang seribu dinar dari Baitul Mal dan berkata: ”Ambillah uang seribu dinar dari Baitul Mal ini, dan pergilah dalam keadaan merdeka. Jangan sampai ada orang yang melihatmu”.[11]

Wahai saudaraku!, budak ini telah meracuni Khalifah. Khalifah tahu dan sang budak sendiri mengakuinya. Lalu apa tindakan Khalifah Umar bin Abdul Aziz?! Ia berkata: ”Pergilah! Kamu sekarang telah merdeka”.

Sekarang mari kita tengok kisah Imam Malik rahimahullah. Beliau dipukul dan dicambuk hingga kedua tangan beliau terkelupas. Hingga ketika berdiri dalam shalat, beliau terpaksa menjulurkannya lantaran rasa perih yang amat sangat. Sebab itu, beliau tak sanggup menekuk kedua tanggannya di atas dada. Setelah itu Al-Manshur(Khalifah Abbasiyah) datang ke kota Madinah pada musim haji. Dia menghadap Imam Malik untuk mengambil muka dari beliau. Lalu meminta pada Imam Malik untuk mengambil [menuntut] qishas –balasan- dari orang yang telah memenjarakan dan mencambuki beliau, yakni Ja’far bin Sulaiman.

Imam Malik lantas berkata: “Ma’aadzallah! Saya berlindung kepada Allah untuk mencari pembalasan buat diri saya”.

Beliau sama sekali tidak mengatakan, “Ini adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan.” Tidak pula mengatakan:” Ja’far adalah seorang sangat zhalim yang harus diberi pembalasan”. Tidak!! Imam Malik sama sekali tidak mengatakan hal itu.

Begitulah contoh orang yang berjiwa besar. Sedikit pun tidak pernah mencari kemenangan buat dirinya. Karena itu, dalam sejarah jelas terpampang, Nabi shallallahu alaihi wasalam tak pernah mencari pembelaan atau kemenangan buat dirinya.

Mari kita mengambil contoh lain.

Suatu ketika seseorang masuk ke majelis Ibnu Hubairah rahimahullah dan mengemis. Ibnu Hubairah berkata kepada penjaga: ”Bukankah sudah kukatakan padamu?! Beri dia dua puluh dinar, kasih makan, dan jangan sampai masuk ke dalam majelis ilmu ini?!”

Sang penjaga berkata, ”Kami sudah memberinya, tapi dia tetap memaksa untuk masuk.”

“Kalau begitu, beri dia dua puluh dinar lagi dan jangan boleh masuk!”, sergah Ibnu Hubairah.

Ketika lelaki pengemis itu pergi, Ibnu Hubairah berkata kepada para sahabatnya di majelis itu: “Apakah kalian kaget terhadap jawaban dan perlakuan saya ini?!”

Mereka menjawab:” Benar!!” Ibnu Hubairah berkata, “Orang yang baru saja kalian lihat adalah seorangsyihnah di pedalaman. Kemudian ada seseorang yang terbunuh di daerah tempat tinggal saya. Maka datanglah lelaki ini dan mendatangkan para sesepuh kampung, serta membawa saya bersama orang banyak. Ia menyuruh saya berjalan kaki. Sementara dia mengendarai kuda. Lalu dia mulai menyakiti dan menyeret saya bersama kuda. Kemudian saya diikat. Ia mengambil uang dari setiap orang, dan melepaskan mereka. Lalu datang kepada saya dan berkata: “Berikan uangmu!”.

“Saya tak memiliki uang sepersen pun”, jawabku. Maka orang itu menghardik dan memukuli saya. Tapi saya tidak dendam sedikit pun atasnya. Saya meminta izin padanya untuk mengerjakan shalat wajib ketika tiba waktunya, saat masih di jalan. Tapi dia menolak. Inilah yang membuat saya marah. Karena itu saya tak ingin menyakitinya dan tidak senang melihatnya”.[12]

Wahai saudara sekalian…Karena kebaikannya, Ibnu Hubairah rahimahullah akhirnya memanggil orang itu dan memberikan padanya sebuah jabatan. Orang itu ditugasi mengatur harta khusus yang dimiliki para pembesar.

Lihatlah!!, Ibnu Hubairah sama sekali tidak mencari kemenangan buat dirinya. Tidak pula mengatakan: “Ini adalah kesempatan emas untuk membalas dendam”. Bahkan beliau malah memberinya uang, memuliakannya dan sama sekali tidak mencari kemenangan untuk diri pribadi.

Ibnu Hubairah rahimahullah, pemilik hati mulia ini, juga berperan dalam kisah mulia yang lain. Peristiwa ini terjadi sudah lama. Sejak Ibnu Hubairah belum diangkat menjadi seorang menteri. Pernah terjadi sesuatu antara Ibnu Hubairah bersama seorang ajam (non Arab) dalam masalah pertanian. Orang ajam ini memukul Ibnu Hubairah dengan sangat keras.

Ketika Ibnu Hubairah diangkat menjadi menteri, orang ajam itu dipanggil. Mari kita bayangkan! Kalau bukan Ibnu Hubairah, pastilah orang ajam itu disiksa, dihukum atau dibunuh. Tetapi Ibnu Hubairah sama sekali tidak menghukum atau menghardiknya. Justru Ibnu Hubairah memuliakan, memberi uang dan menyerahinya suatu jabatan.

Ibnu Jauzi, murid Ibnu Hubairah berkata: “Ibnu Hubairah pernah meng-imlak (mendikte) kami kitab karangannya yang berjudul “Al-Ifshah”. Maka datang dua orang lelaki. Orang pertama menawan dan mengikat orang yang kedua. Orang pertama berkata: “Orang ini telah membunuh saudaraku. Karena itu putuskan qishasnyadi antara kami.”

Ibnu Hubairah bertanya kepada orang kedua: “Apakah kamu telah membunuh saudaranya?” Ia menjawab: ”Benar saya telah membunuhnya. Telah terjadi pertikaian antara saya dengan dia, maka saya pun membunuhnya”.

Maka orang pertama berkata: ”Serahkan ia padaku biar kubunuh. Bukanlah ia telah mengakui perbuatannya?!”.

Ibnu Hubairah berkata: ”Tidak! Justru lepaskan dia”. Orang pertama pun berkata: ”Mana mungkin kami melepaskannya, padahal ia telah membunuh saudara kami”.

Ibnu Hubairah berkata: ”Kalau begitu, jualah ia padaku!”. Maka Ibnu Hubairah membeli pembunuh itu dengan diyat yang berlipat–lipat. Yaitu dengan harga enam ratus dinar. Lalu Ibnu Hubairah menyerahkan emas-emas itu kepada keluarga sang terbunuh. Setelah emas diserahkan, Ibnu Hubairah berpaling pada sang pembunuh, “Duduklah!”. Lalu pembunuh itu duduk dan diberi uang sebanyak lima puluh dinar oleh Ibnu Hubairah. Kemudian diperintahkan untuk pergi.

Ibnu Jauzi bersama para murid lainnya ditimpa keheranan luar biasa atas perlakuan Ibnu Hubairah ini. Mana mungkin seorang pembunuh dibeli dengan harga sangat mahal, diberi uang, kemudian dibiarkan lepas begitu saja?!

Lalu Ibnu Hubairah bertanya kepada para muridnya, “Tahukah kalian bahwa mata kanan saya tidak dapat melihat sejak empat puluh tahun lalu?”

Murid-muridnya serentak menjawab: ”Tidak!!”

Ibnu Hubairah meneruskan: ”Lelaki pembunuh tadi, empat puluh tahun lalu pernah lewat di hadapan saya sambil membawa sekeranjang buah, lalu berkata kepadaku: “Angkat keranjang ini, dan bawalah!!. Padahal saat itu saya sedang membaca kitab fiqih.”

“Ini bukan pekerjaan saya. Tolong anda cari orang yang membawakannya untuk anda”, Ibnu Hubairah meneruskan, “Orang itu menjadi sangat marah. Tiba-tiba memukuli saya dan menampar wajahku. Dia terus memukuli saya hingga akhirnya merusak mata saya. Setelah itu dia pergi. Dan saya tak pernah melihatnya kecuali saat ini….”.[13]

Wahai saudara sekalian…Perhatikanlah perbuatan orang itu terhadap Ibnu Hubairah. Sekarang dia datang sebagai seorang pembunuh. Tapi Ibnu Hubairah tidak mengatakan, “Sudah, qishaslah dia”. Atau mengatakan: “Segala puji bagi Allah yang telah membuatmu mendapat balasan atas buruknya perbuatanmu”. Sama sekali Ibnu Hubairah tidak mengatakannya. Justru ia memaafkannya, memuliakan dan memberinya uang.

Wahai saudara sekalian…Siapa di antara kalian yang pernah melakukan hal ini?! Ibnu Hubairah berkata:” Saya ingin membalas keburukannya dengan kebaikan”.

Sekarang…seandainya anda berpapasan dengan seorang pencaci, pengumpat dan pengolok-olok anda di suatu tempat. Apakah itu di madrasah, di kantor, di pasar atau di tempat lain. Lalu orang itu berkata kepada anda seperti perkataannya kepada Ahnaf bin Qais ini, “Jika kamu ngomong satu ucapan, niscaya kamu mendengar sepuluh kali ucapan pembalasan dari saya.”

Seperti inilah akhlak orang-orang jalanan yang tak berpendidikan. Inilah lidah orang jalanan. Orang pasaran yang tak beradab. Satu kata di balas dengan sepuluh perkataan. Tetapi apa jawaban Ahnaf bin Qais? Apakah ia menjawab, ”Kami akan membalasmu seribu umpatan dan memotong lidahmu”?!

Sama sekali Ahnaf bin Qais tidak mengatakan hal itu. Tapi ia menjawab:” Jika anda mengatakan sepuluh kali, maka anda tidak akan mendengar sepatah kata pun dari saya.”

Seorang penyair berkata:

Mereka berkata, diamlah saat dimaki dan diumpat. Saya berkata pada mereka, sungguh menjawabnya adalah kunci pembuka pintu keburukan.

Mengampuni orang bodoh adalah suatu kemuliaan. Benar sekali!, Dan itu merupakan perbaikan dan perlindungan kehormatan.

Sungguh singa-singa disegani meski terdiam. Sementara anjing dilempari saat menggonggong.”

Sekarang anda wahai seorang dai…. Apa tindakan anda jika seorang mad’u (obyek dakwah) berbuat keburukan terhadap anda…? Atau, berkata buruk keada anda…? Atau, melakukan perbuatan yang tidak pantas kepada anda…? Apakah anda akan memusuhinya…? Menjauhi atau mengucilkannya…? Atau menyuruh para pengikut anda untuk menjauhi dan menghindarinya…? Menjadikan adanya tabir pembatas dengannya…? Apakah hanya karena kepentingan pribadi, anda menjadi sibuk sendiri dan dia juga sibuk sendiri..?!!

Wahai saudara sekalian…Hal ini sama sekali tidak pantas dilakukan. Asy-Syaikhan meriwayatkan sebuah Hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, dia berkata: “Seakan-akan saya melihat Nabi mengisahkan salah satu Nabi dari para Nabi Allah. Kaumnya memukulinya hingga berdarah, kemudian dia (Nabi itu) mengusap darah dari wajahnya sambil berkata: ““Ya Allah! Ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengerti”.

Jika seorang mad’u (yang didakwahi) memukul anda hingga berdarah, apa yang bakal anda lakukan…? Apakah anda akan mendoakan kebinasaan baginya?! Apakah anda akan melaknatnya…?! Ataukah anda akan memukulinya!

Wahai sang dai!, Anda bagaikan direktur di sebuah perusahaan. Anda seperti penanggung jawab di suatu pekerjaan. Jika seorang peninjau datang kepada anda, kemudian ia mengucapkan perkataan yang sangat keji, dengan bahasa yang sombong, dan berbicara dengan anda seakan-akan anda pelayannya… Pada situasi seperti ini apa yang akan anda perbuat?

Ada seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu menarik selendang Nabi dengan keras hingga membekas merah pada leher beliau. Lalu orang itu berkata: “Berikan kepada saya harta ini. Karena harta ini bukan kepunyaan bapak atau ibumu”. Seandainya perkataan ini diucapkan kepada selain Rasulullah, pastilah kepala orang itu sudah terputus sebelum sempat menyempurnakan perkataannya.

Coba anda bayangkan, tindakan apa yang diperbuat oleh Nabi?! Beliau memberi, memberi, dan memberinya hingga dia puas. Dan ini adalah akhlak para Nabi.

Wahai saudara sekalian…Wahai orang-orang yang mengerjakan shalat. Kita dalam masjid ini, seandainya ada anak kecil yang berdiri di atas meja ini, kemudian mengencinginya. Atau ada seorang tua yang pergi ke pojok masjid, kemudian duduk dan kencing di sana.

Bayangkan! Apa tindakan yang akan kita lakukan terhadapnya. Mungkin dia tidak tahu akan berada pada (pukulan) tangan siapa. Tentunya semua orang akan memukulinya. Sementara yang tidak sempat memukul, akan terus memaki dan mengumpatnya.

Pernah seorang datang ke masjid Nabi saat beliau bersama dengan para Sahabat. Lalu orang itu menuju pojok masjid dan kencing di sana. Dia tak mendapatkan tempat lain kecuali masjid. Para Sahabat menghardiknya, tapi Nabi melarang para Sahabat untuk melakukannya. Justru beliau mengatakan: “Jangan hentikan dia saat buang air seni, agar tidak mendatangkan banyak madharat lagi”. Setelah itu Rasulullah menyuruh seseorang membawakan segayung air lalu dituangkan ke sisa air kencing tersebut.

Kemudian beliau mengajari orang yang kencing tadi dengan hikmah dan lemah lembut, bahwa masjid ini tidak pantas dikotori. Dan masalah pun selesai tanpa harus menendangnya dengan kaki, atau menyeruduknya dengan tumit dan lain sebagainya. Sungguh, orang itu tak diusir, dimaki atau dicemooh. Tapi justru ia dimuliakan dan diajari dengan baik, bahwa masjid ini adalah tempat shalat dan tak patut dikotori sedikit pun. Dengan akhlak mulia Nabi inilah orang tersebut menjadi terbuka hatinya. Dan sejak peristiwa itu terjadi, ia senantiasa mengatakan,“Demi Allah! Sama sekali beliau tak berkata kasar atau memarahiku. Dan saya tak pernah mendapati seorang pengajar yang paling baik darinya.”

Walau saudara sekalian…..Apakah seperti ini akhlak kita bersama murid kita, para mad’u (yang didakwahi) dan seluruh kaum muslimin?!!

Bayangkan seandainya ada seorang imam dalam masjid yang shalat dengan sujud sangat lama. Ia tak mengangkat kepalanya hingga lama. Ketika anda mengangkat kepala, anda melihat anak kecil sang imam sedang menduduki kepalanya. Apakah tindakan yang akan anda perbuat..? dan apa yang akan anda katakan kepada anak kecil itu..? tentunya setelah kalian mengatakan kepada imam itu hal-hal yang dibencinya, pasti anda segera pergi ke Wizaratul Auqaf[14] untuk memecat dan memberinya pelajaran.

Walau saudara…Itu hanya anak kecil yang sedang bermain-main. Mereka tak mendapati mainan lain selain berada di atas punggung ayahnya.

Ingatlah! Nabi pernah sujud lama sekali. Maka seorang Sahabat mengangkat kepalanya, dan mendapati Hasan atau Husain sedang bermain di atas punggung beliau. Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selesai shalat, beliau menjelaskan kepada mereka sebab keterlambatannya dalam mengangkat kepala saat sujud, “Sesungguhnya cucuku ini menjadikan punggungku sebagai kendaraan baginya. Dan aku tidak ingin menghentikannya.” Beliau tidak senang menghentikan kegembiraan anak kecil ini. Adapun kita, setiap melihat anak kecil bergerak sedikit saja kita langsung berdalil dengan Hadis, “Jauhkan anak-anak kecil dan orang-orang gila kalian dari masjid”!? Padahal hadis ini tidak shahih sama sekali.

Sementara sang ayah bagi anak-anak tadi, wajahnya menjadi merah lantaran menahan perasaan tak enak. Padahal bisa saja ia memiliki urusan berat yang perlu dibantu. Atau bisa saja isterinya sedang sibuk atau sedang sakit dan lain sebagainya. Atau bisa saja sang ayah atau sang ibu yang membawa anak-anak ke masjid, sedang mengalami krisis kejiwaan atau masalah pribadi dalam dirinya. Lalu ia pergi ke masjid mencari ketenangan, tapi kita melakukan tindakan-tindakan buruk itu terhadapnya.

Wahai saudara sekalian! Rasulullah pernah berkhutbah. Kemudian beliau turun dari mimbarnya hanya karena melihat Hasan dan Husain. Perhatikan Hadits Buraidah di bawah ini. Dari Buraidah, dia berkata: “Rasulullah pernah berkhutbah pada hari Jumat’ kemudian datang Hasan dan Husain memakai baju merah. Keduanya berjalan dan terjatuh. Maka Rasulullah turun dari mimbar. Beliau menggendong keduanya dan meletakkan mereka di depannya. Beliau bersabda: “Sungguh benar Allah dan Rasul-Nya: Sesungguhnya harta dan anak-anak kecil kalian adalah fitnah. Saya melihat dua anak kecil ini berjalan dan jatuh, maka saya tak mampu bersabar, hingga memotong khutbah dan menggendong keduanya”.

Seandainya seorang Imam atau Khatib melakukan hal ini pada hari Jumat. Mengambil anak putrinya, kemudian menggendongnya, coba bayangkan tindakan manusia terhadapnya.

Rasulullah pernah mengerjakan shalat sambil menggendong Umamah, anak putri beliau. Setiap beliau berdiri dalam shalat, anak itu pasti digendongnya. Ketika beliau sujud atau ruku’ anak itu diletakkannya di atas tanah. Beliau terus melakukannya sepanjang shalat hingga selesai.

Walau saudara sekalian…Jika hal ini dilakukan seorang imam, apa tindakan yang akan kita perlakukan terhadapnya?

Ketahuilah! Ini adalah akhlak dimana generasi dan anak-anak kecil masa itu terdidik. Sebab mereka hidup dalam buaian orang-orang mulia. Orang-orang yang memiliki jiwa mulia dan luhur. Sehingga mereka mendapati banyak orang yang terus merawat dan memperhatikan mereka.

Tetapi generasi kita…adalah generasi yang bermuka masam di hadapan saudara-saudaranya. Generasi yang berinteraksi dengan saudara muslim secara kasar dan buruk…, dan tentunya para pelaku perbuatan ini bukan orang-orang yang berjiwa besar.

Wahai saudaraku! Jika anda bekerja bersama seseorang dalam perusahaan atau perserikatan. Anda setiap hari berinteraksi bersamanya. Kemudian anda diuji dengannya dan ia hendak memasukkan anda dalam persengketaan. Apakah anda meladeninya?

Imam Malik rahimahullah, menyebutkan sifat Qasim bin Muhammad, salah seorang Ulama dari kalangan Tabiin. Imam Malik berkata: “Pernah terjadi antara Qasim bin Muhammad dengan seseorang suatu masalah yang biasa terjadi di antara manusia [sengketa]. Maka Qasim berkata: “Masalah yang hendak anda perselisihkan dengan saya ini, jika benar-benar milik anda, berarti itu milik anda maka ambillah dan jangan memuji saya. Tetapi jika itu milik saya, maka saya telah memaafkan anda dan barang itu menjadi milik anda”.[15]

Maksudnya, tinggalkan saya. Saya tidak akan bersengketa dengan anda. Ambillah barang itu untuk anda. Saya tidak akan berselisih hanya disebabkan perkara yang remeh.

Sekarang anda wahai para suami…Bagaimana anda bertindak ketika pertalian antara suami dengan istri menjadi tidak serasi…? Ketika hubungan anda dengan istri sudah tidak harmonis lagi…?

Sebagian lelaki ada yang menyudutkan dan menekan sang istri. Dan saya tidak berlebihan, sungguh terkadang permasalahan tiba-tiba muncul dari sebuah rumah. Sang lelaki menyakiti dan membuat istrinya merasa sangat tidak nyaman, dengan tujuan agar sang istri mengajukan cerai. Sehingga dia (sang wanita) memberikan jaminan kepada sang suami akibat permintaan cerai itu, juga mengembalikan maskawin dan biaya-biaya lain saat upacara pernikahan mereka. Padahal sang suami telah menggaulinya. Bahkan bisa jadi sang suami juga telah melahap masa remajanya.

Wahai saudara sekalian…Di manakah kepribadian kita?! Di manakah sopan santunnya?! Ketika seseorang tidak lagi mencintai istrinya, dan seakan duduk di atas bara api karena kebencian dan kemarahan terhadapnya.Maka, tindakan apa yang akan anda lakukan pada situasi seperti ini?!

Adalah Jubair bin Muth’im, beliau menikahi seorang wanita dan telah menyerahkan mahar secara sempurna kepada sang wanita. Kemudian dia mencerai-kannya sebelum menggauli. Beliau lantas membaca ayat ini: “Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Serta janganlah melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Baqarah:237).[16]

Jubair berkata: “Saya lebih patut untuk memaafkan.” Beliau lalu menyerahkan seluruh maskawin kepada sang wanita, padahal ia berhak mendapat seperdua dari maskawin tersebut.

Seandainya seorang istri bertindak tidak patut terhadap anda, apakah anda akan langsung mentalak tiga terhadapnya seperti dilakukan sebagian orang?! Apa anda memukulnya?! Menyiksanya?! Apakah anda meninggalkannya begitu saja?!

Sungguh sebagian wanita datang mengadu, bahwa ia telah ditinggal suaminya sejak bertahun-tahun tanpa perhatian dan nafkah. Sebagian mereka mengatakan, bahwa dia sering pingsan, karena suaminya sering memukuli kepalanya. Sebagian istri juga mengatakan, suaminya masuk rumah dengan mengomel dan mencaci. Lalu keluar rumah dengan mengumbar kata-kata tidak pantas tanpa sebab yang jelas. Kemudian dikatakan kepadanya: “Mestinya anda menjauhi tindakan-tindakan yang membuatnya marah”. Sang istri menjawab: “Dia pada dasarnya memang pemarah. Tanpa ada sebab, ia tetap marah dengan sendirinya. Tak ada kebaikan apa pun kecuali sudah saya lakukan terhadapnya. Kemarahannya pun bisa lahir hanya karena sebuah perkara yang sangat remeh. Bahkan dia juga marah pada momen-momen yang semestinya perbuatan ini sangat tidak pantas dilakukan. Pada malam hari raya Idul Fitri dia marah-marah. Juga pada pagi hari sebelum shalat Idul Fitri, dia juga sangat marah.”

Sebagian wanita menelpon kami dan bertanya: “Suamiku langsung mentalak tiga saya, hanya lantaran saya membangunkannya untuk makan makanan yang disiapkan pada pagi hari Idul Fitri. Maksud saya agar dia mencicipi masakan saya sebelum berangkat shalat Ied. Tetapi langsung mentalak tiga saya. Ia bangkit dan menabur makanan di dapur lalu memukul saya dengan sangat keras. Dia juga mencaci saya dan mencaci seluruh keluarga saya. Hal itu terjadi di pagi hari Idul Fitri.”

Na’udzu billah mudah-mudahan Allah melindungi kita dari perbuatan bejat ini. Padahal apa yang dilakukannya?! Ia telah melakukan suatu perbuatan yang sangat mulia. Mestinya perbuatan mulia dibalas dengan kemuliaan. Tapi ia justru membalas kemuliaan dengan perbuatan yang sangat bejat.

Walau saudaraku…Aisyah pernah berkata kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasllam, “Engkaukah orang yang mengaku sebagai seorang Rasulullah?!” Ini merupakan ucapan yang tidak patut dan menyakitkan. Tapi apa tindakan yang dilakukan Nabi?! Beliau tidak melakukan sesuatu lebih dari sekadar tersenyum. Yah, beliau hanya tersenyum dan tidak melakukan tindakan apa pun.

Pertanyaannya, jika istri anda berkata di hadapan muka anda seperti ini: “Kamu mengaku mempunyai kejantanan?”, “Kamu mengaku sebagai orang yang baik?!” Kira-kira apa tindakan anda terhadapnya? Mungkin yang saya perkirakan, daging sang istri itu akan bercampur jadi satu dengan bajunya….Dan saya tidak yakin ia bisa selamat dan keluar dari rumah dalam keadaan tak kurang suatu apa pun pada situasi seperti itu…

Pernah Nabi shallallahu alaihi wasallam duduk bersama para Sahabat. Lalu salah seorang istri beliau yang pandai memasak mengirim sepiring besar makanan kepada beliau. Bangkitlah rasa cemburu dari istri yang lain… Dan hadits tentang hal ini shahih. Pada sebagian riwayat disebutkan nama-nama istri beliau itu. Sekali lagi, semua riwayatnya shahih. Diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i dan juga imam-imam lainnya.

Dalam sebuah riwayat, istri yang lagi cemburu ini memukul tangan Nabi, sehingga piring besar berisi makanan itu berserakan jatuh di lantai. Sedangkan dalam riwayat lain disebutkan, bahwa dia mengutus seorang budak wanita untuk mengambil piring besar itu dan melemparnya di lantai, sehingga pecah dan makanan berceceran di lantai.

Sementara dalam riwayat ketiga disebutkan, dia datang dengan penuh kemarahan di hadapan para tamu, lalu mengambil piring itu dan dilemparkan di hadapan para tamu.

Bayangkan apa tindakan Nabi?! Ternyata beliau hanya menyuruh budak wanita untuk mendatangkan makanan lain dari istri yang telah memecah dan mencecerkan makanan itu. Beliau bersabda: “Piring diganti piring, dan makanan diganti dengan makanan.” Dan masalah pun selesai. Beliau tidak mengatakan: “Kamu telah membuat saya malu di depan para tamu!?”. Sama sekali tidak ada kata-kata itu…

Wahai saudara sekalian…contoh-contoh seperti ini, kenapa saya datangkan dari sisi kehidupan Rasulullah?! Sebab jika saya mendatangkannya dari selain Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mungkin ada yang mengatakan ucapan yang tidak patut. Hal itu tidak lain, karena besarnya keburukan dalam diri kita, juga kesombongan berlebihan yang membuat kita menolak kemuliaan dari selain Rasulullah. Juga lantaran kebiasaan kita suka berbuat jahat dan tidak bersikap lembut terhadap para wanita.

Perhatikan kisah Rasulullah! Beliau hanya mengatakan piring diganti piring dan makanan diganti makanan…Setelah itu beliau tak pernah mengungkit, memukul, mencerai, atau meninggalkannya. Sama sekali beliau tidak melakukan hal ini. Peristiwa ini langsung selesai dan ditutup pada saat itu juga.

Dan anda wahai para wanita…

Jika ada satu kata yang keluar dari mulut suami, apakah anda akan memasukkannya dalam daftar hitam hanya karena ucapan itu?! Dan tidak akan pernah anda lupakan?!

Kemudian…..jika anda wahai saudariku mempunyai pembantu atau seorang sopir. Lalu dia berbuat salah atau ceroboh pada hak anda. Bayangkan apa tindakan anda jika dia memecahkan guci atau piring misalnya…..apa tindakan yang anda perbuat terhadapnya?

Perhatikanlah…Dalam hadist Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam didatangi seorang lelaki dan bertanya: “Wahai Rasulullah! berapa kali kita memaafkan pembantu?” Rasulullah diam tidak menjawab. Kemudian lelaki itu mengulangi pertanyaannya. Rasulullah tetap diam tidak menjawab. Kemudian lelaki itu mengulangi pertanyaannya lagi. Setelah tiga kali pertanyaan ini, maka Rasulullah menjawab: “Berikan maaf padanya dalam setiap hari sebanyak tujuh puluh kali”. Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad shahih, sebagaimana dikatakan Syaikh Nashiruddin Al-Albani.

Saudaraku….. Dalam sehari berapa kali kita memaafkan pembantu?! Dalam setahun berapa kali kita memaafkannya?! Berapa kali dalam setahun kita memaafkan sopir pribadi kita? Seandainya sopir datang menghadap bahwa dia telah menabrakkan mobil, dia datang dengan wajah penuh kecemasan. Apa yang akan anda perbuat terhadapnya? Pasti ia akan menjadi sasaran cemoohan, makian dan pukulan. Kemudian sopir malang ini dipotong gajinya untuk membayar mobil yang nabrak tadi.

Wahai saudaraku…Seorang ulama, Ibnu ‘Aun rahimahullah, memiliki seekor unta bagus. Beliau selalu menggunakannya saat mengerjakan ibadah haji dan berperang. Suatu ketika, Ibnu ‘Aun menyuruh budaknya memberi minum unta tersebut. Budak ini wataknya kasar dan tidak memiliki belas kasihan. Akhirnya ia memukul unta itu dan menampar matanya hingga jatuh ke pipi akibat tamparan keras itu.

Ketika orang-orang menyaksikan keadaan unta, yang matanya melenceng ke pipi akibat tamparan, mereka berujar: “Sekarang telah nampak karakter asli Ibnu ‘Aun. Sekarang telah kelihatan akhlak buruknya yang selama ini tersembunyi.”

Maka, saat budak datang menghadap bersama untanya. Ibnu ‘Aun melihat bahwa mata untanya melenceng ke pipi, dan berseru, “Subhaanallah! Tidak adakah tempat lain selain wajah untuk dipukuli. Tak bisakah kamu memukul selain wajah binatang ini?! Semoga Allah memaafkanmu. Sekarang pergilah!!. Wahai manusia! Saksikan, budak ini telah merdeka”.

Ikhwah fillah, kasus lain, masalah wanita muslimah…jika suaminya berpoligami dan memiliki istri lain. Apakah dia akan hidup penuh kebencian dan iri hati?! Permusuhan?! Tidak bisa tidur di malam hari, karena memikirkan setiap kata yang diucapkan suami terhadapnya?!

Wahai saudariku! para istri terhadap saingannya [madunya], mudah-mudahan Allah mengampuni anda dan mengampuni saya. Sungguh, Aisyah radhiallahu anha pernah berkata kepada Ummu Habibah: “Mudah-mudahan Allah mengampuni semua kesalahan anda dan membebaskan anda dari semuanya”. Ummu Habibah menjawab lagi, “Terima kasih, anda telah memaafkan saya. Mudah-mudahan Allah juga menghapus segala kesalahan anda.” Kemudian Ummu Habibah memanggil Ummu Salamah dan mengatakan hal yang sama terhadapnya seperti yang dikatakan kepada Aisyah. Ummu Salamah pun mengatakan hal yang sama.

Dan setelah semua ini wahai saudara sekalian…..Apakah kita sudah menghias diri kita dengan akhlak-akhlak mulia ini?! Apakah kita sudah menghiasi diri kita dengan akhlak orang-orang besar?!

Masalah ini bukan seperti ungkapan, bahwa seorang penyantun adalah orang yang dipukul kemudian berlaku santun, namun saat mampu membalas dia-pun membalas dendam. Bukan seperti itu. Akan tetapi seorang penyantun adalah seseorang yang dipukul kemudian berbuat santun, dan ketika mampu membalas dia memaafkan.

Kalau demikian, kenapa kita tidak mengubah akhlak kita…? Kenapa kita tidak mengubah diri kita, bukankah kita menganggap mulia akhlak-akhlak ini?! Kenapa kita tidak berazam untuk kembali mulai malam ini kepada keluarga kita dengan wajah baru…? Apakah kita mendengarkan keterangan ini hanya sekadar untuk guyonan dan hiburan saja?

Na’udzu billah, kita berkumpul di sini bukan sekadar mendengarkan. Bayangkan! Apa yang akan terjadi jika akhlak mulia ini kita aplikasikan. Sungguh, ia pasti akan melahirkan pengaruh positif yang sangat terpuji. Seperti bersatunya kaum muslimin atas satu kata dan terjalinnya hati-hati mereka. Sebagaimana firman Allah, “Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. (QS. Ali Imran : 159)

Perhatikanlah!! Jika Nabi yang merupakan makhluk paling sempurna, namun akan dijauhi manusia jika berakhlak buruk, tentunya kita harus lebih banyak berakhlak mulia lagi dan lebih dilarang dari akhlak buruk. Karena itu, Allah memerintahkan beliau untuk memaafkan, mengampuni, dan selalu berlaku lemah lembut. Apalagi dengan akhlak mulia, kita akan mendulang pahala tinggi dari Allah Ta’ala, seperti firman-Nya: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim”. (QS. Asy Syuura : 40)

Kemudian Dia menyebutkan sifat-sifat orang bertakwa itu: “Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?, dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan Surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal”. (QS. Ali Imran:134-146)

Diantara sifat-sifat mereka adalah, menahan amarah dan memaafkan manusia. Dengannya mereka menjadi seorang “muhsin” dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan.

Allah juga berfirman: “Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nbya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nur : 22)

Maksud dari orang-orang yang memiliki kelebihan adalah, mereka yang berkedudukan tinggi, sedangkan orang-orang yang memiliki kelapangan adalah para orang kaya.

Allah menurunkan ayat ini khusus ditujukan pada Abu Bakar radhiallahu anhu ketika Aisyah, putrinya, difitnah telah berselingkuh. Siapakah yang dituduh? Dan siapakah yang menuduh? Yang menuduhnya adalah dedengkot kaum munafik, kemudian ada sebagian kaum muslimin yang termakan [fitnahnya].

Wahai saudaraku…ganjaran dari Allah diberikan sesuai dengan jenis perbuatan. Seperti diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani [Bukhari dan Muslim] tentang seorang saudagar yang banyak memberikan hutang kepada manusia. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ada seorang saudagar yang selalu memberi hutang pada manusia. Setiap melihat orang kesusahan dia berkata kepada para pelayannya: ‘Biarkan ketika ia tak melunasi hutangnya. Maafkan dia. Mudah-mudahan Allah memaafkan kita. Maka Allah pun memaafkannya.”

Karena itu, jika anda memaafkan manusia dan tidak menghitung kesalahan dan keburukan mereka, niscaya Allah memaafkan anda.

Disamping itu, dengan akhlak mulia kita bisa memecah rasa permusuhan yang bercokol dalam hati dan menutup pintu setan. Allah Ta’ala berfirman: “Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia”. (QS. Fushshilat : 34).

Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma berkata kala menafsirkan ayat ini: “Allah memerintah kaum beriman untuk bersabar saat marah. Berlaku santun ketika menghadapi orang bodoh. Dan memaafkan saat disakiti. Jika mereka sudah melakukan hal itu, niscaya Allah melindungi mereka dari setan. Musuh juga tunduk kepada mereka seakan-akan ia seorang teman yang sangat dekat”.

Ditambah lagi…dengan akhlak mulia ini kita akan menemukan hakikat kebahagiaan, kenyamanan, dan ketenteraman hati.

Wahai saudaraku… tentunya anda tahu apa itu dengki. Lantaran dengki seseorang akan merasa tersiksa sebelum orang lain. Jika anda hidup penuh kedengkian dan kemarahan, niscaya ia terus membebani dan menyulitkan anda. Ia juga akan membuat anda berhenti bekerja, berhenti berbuat taat kepada Allah dan membuat hati anda tidak nyaman ketika beribadah serta bermunajat.

Karena itu saya katakan seperti ucapan sebagian orang, bahwa lezatnya memaafkan lebih agung dibanding lezatnya membalas dendam. Dan hal itu menjadi sangat buruk bagi orang yang mampu, saat ia melampiaskan dendamnya.

Jadi…memaafkan adalah pekerti mulia dianjurkan Islam. Pekerti itu menunjukkan betapa lapang dada orang yang terhiasi dengannya, betapa besar husnu-zhannya kepada manusia, dan betapa besar ia sanggup menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan hina tak berguna.

Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar apa yang kita dengarkan ini dijadikan bermanfaat bagi kita. Menjadikan kita orang-orang yang mendapat petunjuk. Dan dijadikanNya sebagai orang-orang yang selalu jauh dari keburukan diri kita.

Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurahkan atas junjungan kita Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Selesai.


[1] . Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Hanyasaja aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (baik)“. [HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad no, 273, Ahmad no. 8595, al-Baihaqi no. 20571. Dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Shahihah no. 45].

[2] . Siyar A’lam an-Nubala, X/16. Lihat pula: Tarikh Ibni Asakir, XVI/403.

[3] . Lihat: Dzail Thabaqaat al-Hanabilah, Ibnu Rajab al-Hambali, I/227. Lihat pula: Syadzarat al-Dzahab, Ibnul ‘Imad, IV/192. Program al-Maktabah al-Syamilah.

[4] . Sebagaimana beliau singgung pada bagian I, bahwa asal penciptaan manusia itu ada dua, yakni ruh dan tanah. Ruh menunjukkan sifat tinggi sedang tanah menunjukkan sifat rendah. Dan yang beliau maksud di sini asalah tanah yang menunjukkan sifat rendah.

[5] . Lihat: Shifah al-Shofwah, II/252.

[6] . Lihat: Tarikh Madinah al-Dimasqi, XVIII/105.

[7] . al-Isti’ab fii Ma’rifah al-Ashaab, II/105. Lihat pula: Siyar A’lam an-Nubala, II/232.

[8] . Lihat: Mau’idzah al-Mukminin min Ihya’ ‘Ulumid Dien, I/321. Lihat pula: Hukmul Ayyam, I/138.

[9] . Lihat: Tahzib al-Kamal, XX/397, Siyar A’lam an-Nubala’, VII/447.

[10] . Lihat: Siyar A’lam an-Nubala’, XI/471.

[11] . Lihat: Siyar A’lam an-Nubala’, IX/160, Tadzkirah al-Huffadz, I/121.

[12] . Lihat: Dzail Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Rajab al-Hambali, I/228.

[13] . Ibid, I/228-229.

[14] . Departemen yang bertanggungjawab megangkat dan memberi insentif bagi para imam dan khatib masjid-masjid di Saudi Arabiyah.

[15] . Lihat: Tahdzib al-Kamal, XXIII/434. Siyar A’lam an-Nubala’, IX/61. Program al-Maktabah al-Syamilah.

[16] . Lihat: Tafsir al-Baidhawiy, I/535.

sumber : http://www.alinshof.com

Kategori:Lain - lain

Ada Apa Dengan Valentine’s Day ?

Walaupun sudah agak terlambat, tidak ada salahnya apabila kita sedikit mengkaji ulang sebuah fenomena yang selalu terjadi di setiap tanggal 14 Pebruari yaitu apa yang disebut dengan “Hari Valentine”, berikut adalah sebuah tulisan yang sangat bagus sekali yang berasal dari http://www.alsofwah.or.id yang membahas tentang sejarah Hari Valentine dan Pendapat para ulama mengenai hukum ikut merayakannya, mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat dan ke depannya kita bisa meninggalkan perayaan- perayaan yang tidak berasal dari islam.
SEJARAH VALENTINE’S DAY
The World Book Encyclopedia (1998) melukiskan banyaknya versi mengenai Valentine’s Day :
“Some trace it to an ancient Roman festival called Lupercalia. Other experts connect the event with one or more saints of the early Christian church. Still others link it with an old English belief that birds choose their mates on February 14. Valentine’s Day probably came from a combination of all three of those sources–plus the belief that spring is a time for lovers.” Baca selengkapnya…

Kategori:Lain - lain

Pacaran Islami, Adakah?

29/09/2009 1 komentar

Pacaran, setiap kali kita mendengarnya akan terlintas dibenak kita sepasang anak manusia yang tengah dimabuk cinta dan dilanda asmara, saling mengungkapkan rasa sayang serta rindu. Lalu kenapa harus dipermasalahkan? Bukankah “ada pacaran islami” tanpa harus melanggar batasan-batasan syariat?

CINTA, FITRAH ANAK MANUSIA
Manusia diciptakan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala dengan membawa fitrah (insting) untuk mencintai lawan jenisnya. sebagaimana firman-Nya, artinya,
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu Wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Âli-‘Imrân: 14).
Berkata Imam Qurthubi, “Allah memulai dengan wanita karena kebanyakan manusia menginginkannya, juga karena mereka merupakan jerat-jerat setan yang menjadi fitnah bagi kaum laki-laki, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
“Tiadalah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita.” (HR. Bukhârî dan Muslim).
Oleh karena itu, wanita adalah fitnah terbesar dibanding yang lainnya. (Lihat Tafsîr al Qurthubî 2/20). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun, sebagai manusia, tak luput dari rasa cinta terhadap wanita. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Disenangkan kepadaku dari urusan dunia wewangian dan wanita.” (HR. Ahmad dan selainnya dengan sanad hasan). Baca selengkapnya…

Kajian Rutin Mingguan

Ikuti Kajian Rutin Mingguan Islam
Setiap Sabtu
Ba’da Maghrib
Tempat : Kp. Cimapag rt 03/03. Desa Cidadap. Kec. Campaka. Cianjur.
Info hub 081213224988

Kategori:Lain - lain

DINUL ISLAM 5

45. Tauhid uluhiyyah adalah mempersembahkan seluruh peribadatan hanya kepada Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–. Dengan kata lain, adalah penge-saan Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dalam peribadatan. Tauhid uluhiyyah disebut juga tauhid ilahiyah atau tauhid ‘ubudiyyah.

“Dan Kami tidak mengutus seorang rosul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka beribadahlah kalian hanya kepada-ku.” QS. al-Anbiyaa (21): 25

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah hanya kepada-ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki mereka memberi Aku makan.” QS. adz-Dzaariyaat (51): 56-57

“Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” QS. an-Nisaa’ (4):36

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Alloh dengan mengikhlaskan agama (Peribadatan) hanya untuk-Nya dan menjadi orang-orang yang lurus (Bertauhid)”. QS. Al Bayyinah (98): 5

46. Tauhid uluhiyyah mengandung tiga masalah pokok, yaitu:

1) Nusuk,
2) Hakimiyyah, dan
3) al-Wala’ wa al-bara’.
Baca selengkapnya…

Kategori:Lain - lain